Pendidikan karakter merupakan
sebuah istilah yang semakin hari semakin mendapatkan pengakuan dari masyarakat
indonesia saat ini. Terlebih dengan dirasakannya berbagai ketimpangan hasil
pendidikan di lihat dari perilaku lulusan pendidikan formal saat ini, semisal
korupsi, perkembangan seks bebas pada kalangan remaja, narkoba, tawuran,
pembunuhan, perampokan oleh pelajar, dan pengangguran lulusan sekolah menengah
atas. Semua terasa lebih kuat ketika negara ini dilanda krisis dan tidak
kunjung beranjak dari krisis yang di alami.
Ada beberapa penamaan yang merujuk kepada
kajian pembentukan karakter peserta didik, tergantung kepada aspek
penekanannya. Di antaranya yang paling umum dikenal ialah: Pendidikan Moral,
Pendidikan Nilai, Pendidikan Relijius, Pendidikan Budi Pekerti, dan Pendidikan
Karakter itu sendiri.[1]
Masing-masing penamaan kadang-kadang digunakan secara saling bertukaran (inter-exchanging),
misal pendidikan karakter juga merupakan pendidikan nilai atau pendidikan
relijius itu sendiri..
Sebagai kajian akademik, pendidikan karakter
tentu saja perlu memuat syarat-syarat keilmiahan akademik seperti dalam konten
(isi), pendekatan dan metode kajian. Tokoh-tokoh yang sering dikenal dalam
pengembangan pendidikan karakter antara lain Howard Kirschenbaum, Thomas
Lickona, dan Berkowitz. Pendidikan karakter berkembang dengan pendekatan kajian
multidisipliner: psikologi, filsafat moral/etika, hukum, sastra/ humaniora.
Dalam grand
design pendidikan karakter, pendidikan karakter merupakan proses
pembudayaan dan pemberdayaan nilai-nilai luhur dalam lingkungan satuan
pendidikan (sekolah), lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat.
Nilai-nilai luhur ini berasal dari teori-teori pendidikan, psikologi
pendidikan, nilai-nilai sosial budaya, ajaran agama, Pancasila dan UUD 1945, UU
No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta pengalaman terbaik
dan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.[2]
Lebih
lanjut dalam grand design pendidikan karakter juga dinyatakan bahwa pendidikan karakter
sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada
warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran, atau kemauan, dan
tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia insan kamil[3].
Sementara
itu, Berkowitz dan Bier berpendapat bahwa pendidikan karakter merupakan
penciptaan lingkungan sekolah yang membantu peserta didik dalam perkembangan
etika, tanggung jawab melalui model dan pengajaran karakter yang baik melalui
nilai-nilai universal[4].
Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan
cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang: mentalitas, sikap dan
perilaku. Pendidikan karakter semacam ini lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti.
Pembelajaran tentang tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat, menjadikan
pendidikan karakter semacam ini lebih menekankan kepada perilaku-perilaku
aktual tentang bagaimana seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak
baik berdasarkan norma-norma yang bersifat kontekstual dan kultural.
Menurut Srenco, pendidikan
karakter dapat dimaknai sebagai upaya sungguh-sungguh dengan cara dimana
kepribadian positif dikembangkan, didorong, dan diberdayakan melalui
keteladanan, kajian, serta praktik emulasi. Anne Lockword mendefinisikan
pendidikan karakter sebagai aktifitas berbasis sekolah yang mengungkap secara
sistematis bentuk perilaku dari siswa. Dari definisi Anne Lockword diatas,
ternyata pendidikan karakter dihubungkan dengan sikap rencana sekolah, yang
dirancang bersama lembaga masyarakat yang lain, untuk membentuk secara langsung
dan sistematis perilaku orang muda.[5]
Dengan demikian, idealnya pelaksanaan pendidikan karakter merupakan bagian yang
terintegrasi dengan manajemen pendidikan di sebuah sekolah.
Pendidikan karakter dipahami
sebagai upaya penanaman kecerdasan dalam berfikir, penghayatan dalam bentuk
sikap, dan pengamalan dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai
luhur yang menjadi jati dirinya, diwujudkan dalam interaksi dengan tuhannya,
diri sendiri, antar sesama, dan lingkungannya. Nilai-nilai tersebut antara
lain: kejujuran, kemandirian, sopan santun, kemuliaan sosial, kecerdasan
berfikir termasuk kepenasaran akan intelektual, dan berfikir logis. Oleh karena
itu penanaman pendidikan karakter tidak hanya sekedar mentransfer ilmu
pengetahuan atau melatih ilmu pengetahuan atau melatih suatu ketrampilan
tertentu. Penanaman pendidikan karakter perlu proses, contoh teladan, dan
pembiasaan atau pembudayaan dalam lingkungan sekolah, keluarga, lingkungan
masyarakat, maupun lingkungan (exposure) media massa.
Pendidikan karakter
sebagai sebuah program kurikuler telah dipraktekan di sejumlah negara. Studi J.
Mark Halstead dan Monica J. Taylor menunjukkan bagaimana pembelajaran dan pengajaran
nilai-nilai sebagai cara membentuk karakter terpuji telah dikembang-kan di
sekolah-sekolah di Inggris. Peran sekolah yang menonjol terhadap pembentukan
karakter berdasarkan nilai-nilai tersebut ialah dalam dua hal yaitu:
“to build on and supplement the values
children have already begun to develop by offering further exposure to a range
of values that are current in society (such as equal opportunities and respect
for diversity); and to help children to reflect on, make sense of and apply their
own developing values.”[6]
Untuk membangun dan melengkapi nilai-nilai
yang telah dimiliki anak agar berkembang sebagaiamana nilai-nilai tersebut juga hidup dalam masyarakat, serta agar
anak mampu merefleksikan, peka, dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut, maka
pendidikan karakter tidak bisa berjalan sendirian. Dalam kasus di Inggris,
review penelitian tentang pengajaran nilai-nilai selama dekade 1990-an
memperlihatkan bahwa pendidikan karakter yang diusung dengan kajian nilai-nilai
dilakukan dengan program lintas kurikulum.
Pendidikan karakter juga dimaknai sebagai
pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter peserta didik sehingga
mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat dan
warga negara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif.[7]
Halstead dan Taylor menemukan bahwa
nilai-nilai yang diajarkan tersebut juga disajikan dalam pembelajaran Citizenship; Personal, Social and Health Education (PSHE); dan mata pelajaran
lainnya seperti sejarah, bahasa inggris, matematika, ilmu alam dan geografi,
desain dan teknologi, serta pendidikan jasmani dan olahraga.[8]
Sedangkan Mulyasa, mendefinisikan pendidikan karakter sebagai berikut:
“Suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang
meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME),
diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan. Dalam
pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stake-holders) harus
dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, rencana pembelajaran, proses
pembelajaran dan penilaian.”[9]
Pendidikan karakter
mempercayai adanya keberadaan moral absolute, yakni bahwa moral
absolute perlu diajarkan kepada generasi muda agar mereka paham betul mana
yang baik dan benar. Pendidikan karakter kurang sepaham dengan cara pendidikan moral
reasoning dan value clarification yang digunakan sebagai strategi
dasar pendidikan karakter di Amerika, karena sesungguhnya terdapat nilai moral
universal yang bersifat absolute (bukan bersifat relatif) yang bersumber dari
agama-agama di dunia, yang disebutnya sebagai “the golden rule”.
Contohnya adalah berbuat hormat, jujur, bersahaja, menolong orang, adil dan
bertanggung jawab. [10]
Pendidikan karakter mempunyai
makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana
yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan
kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik
menjadi paham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu
merasakan (domain afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (domain
perilaku). Jadi pendidikan karakter terkait erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang terus menerus
dipraktekan atau dilakukan.
Empat hal yang
dijadikan rujukan dalam pelaksanaan Pendidikan Karakter, yaitu:
1) Olah Hati/ Qalbu (Spiritual and Emotional Development) yaitu mengembangkan asset yang berkaitan dengan nilai religi (Ketuhanan).
2) Olah Rasa/ Karsa (Affective and Creativity Develomment) yaitu mengembangkan asset yang berhubungan dengan sesama manusia.
3) Olah Pikir (Intellectual
Development) yaitu mengembangkan asset yang berhubungan dengan akal.
4) Olah Raga dan Kinestetik (Physical and Kinestetic Development)
yaitu mengembangkan asset fisik agar selalu sehat dan mampu bekerja dengan keras[11].
Dari uraian di atas,
disimpulkan bahwa pendidikan karakter bukan hanya sekedar mengajarkan mana yang
benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter adalah usaha
menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta
didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi
kepribadiannya. Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus
melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik
atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral
action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup
peserta didik. Pendidikan karakter adalah sistem penanaman nilai-nilai karakter
kepada peserta didik sehingga mereka menerapkan dalam kehidupannya baik di
keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara sehingga dapat memberikan kontribusi
yang positif kepada lingkungannya.
[1] Kirschenbaum, Howard..”From Values Clarification To Character
Education: A Personal Journey” The Journal Of Humanistic Counseling,
Education And Development. Vol. 39, No. 1, September 2000, h. 4-20.
[2] Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter… h. 17.
[3] Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep Dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011),
h. 46.
[4] Marvin
Berkowitz, dan Mellinda C. Bier, What Works In Character Education: A Research Driven Guide For
Educators,
(Washington:
Character Education Partnership, 2005), h. 7.
[5] Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep Dan Model Pendidikan Karakter … h.
45.
[6] Halstead, J. Mark Dan
Taylor, Monica J.,
“Learning And Teaching About Values: A
Review Of Recent Research, (Cambridge Journal Of
Education,
2000 Vol. 30 No.2),
h. 169.
[7]
Zubaiedi, Desain Pendidikan Karakter:..., h. 17-18.
[8] Halstead, J. Mark dan Taylor, Monica J., Learning
And Teaching… h. 170-173.
[9] E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter…. h.
8.
[10] Kementerian Pendidikan Nasional, Desain Induk Pendidikan Karakter
Kementerian Pendidikan Nasional, (Jakarta:
Kemdiknas, 2010), h. 16.
[11] Muchlas
Samani dan Hariyanto, Konsep Dan Model Pendidikan Karakter…. h. 25.
Bingung mau ngapain? mendingan main games online bareng aku?
BalasHapuscuman DP 20rbu aja kamu bisa dapatkan puluhan juta rupiah lohh?
kamu bisa dapatkan promo promo yang lagi Hitzz
yuu buruan segera daftarkan diri kamu
Hanya di dewalotto
Link alternatif :
dewa-lotto.name
dewa-lotto.com
terima kasih artikelnya sangat membantu, kebetulan kami juga bergerak di bidang pengembangan aplikasi khususnya untuk absensi sekolah berbasis sms gateway terhubung langsung dengan HP orang tua, cocok juga untuk absensi pegawai kantor, untuk lebih jelasnya silahkan hubungi website kami www.schoolmantic.com
BalasHapus